Amilia Agustin: Mengolah Gundukan Sampah Menjadi Gundukan Kreativitas

Sumber foto Kumparan dot com

Sejak setahun lalu, saya mulai membuka toko online yang menjual pakaian-pakaian bekas. Baik pakaian produksi lokal maupun dari luar negeri. Pada mulanya usaha itu hanya untuk membantu perekonomian rumah tangga saja. Ketika menjalaninya, saya menjadi teredukasi bahwa kegiatan thrifting pakaian menerapkan konsep slow fashion, yaitu bentuk kepedulian terhadap lingkungan dengan mengurangi limbah pakaian. Namun pada praktiknya, tetap ada hal-hal yang membuat saya gelisah. Salah satunya, penyebaran baju-baju itu tetap meningkatkan konsumerisme masyarakat. Dari mata pedagang, tentunya hal itu membahagiakan, tetapi si satu sisi tetap menyisakan kecemasan. Pasalnya, baju-baju yang beredar banyak juga yang sudah tak begitu layak pakai, sehingga tetap menjadi limbah yang mesti ditanggulangi. Bayangkan saja, ternyata pada tahun 2020 limbah fashion telah menyumbangkan sekitar 18,6 jut ton limbah yang dibuang ke TPA bahkan ke laut. Hal itu terjadi karena konsumen rata-rata membuang 60% pakaiannya hanya dalam waktu setahun pemakaian akibat dianggap sudah out of date. Belum lagi persoalan psikologis untuk selalu tampil berbeda di media sosial menyebabkan konsumen ingin memakai produk pakaian baru. Tentunya tidak mencengangkan ketika komunitas Zero Waste Indonesia pada tahun 2018 menemukan fakta bahwa limbah tekstil di laut Indonesia jumlahnya sekitar 80% dari total sampah yang dikumpulkan yang artinya jauh lebih banyak dari sampah plastik.

Limbah fashion baik di Indonesia maupun dunia tentu tidak hanya berasal dari konsumen, tetapi juga produsen. Budaya fast fashion tidak terbentuk dengan sendirinya, ada strategi pasar juga yang menyebabkan masyarakat merasa terus ‘butuh’ membeli pakaian. Bukan rahasia bahwa Masyarakat banyak yang membeli sesuatu karena dorongan emosional ketimbang kebutuhan. Hasilnya, di Indonesia sendiri limbah fashion menjadi penyandang peringkat kedua menyumbang gas emisi dan polusi air setelah industri minyak.

Penjualan baju-baju bekas juga sempat menuai pro kontra di dalam masyarakat karena dianggap mematikan usaha lokal. Aspek-aspek tersebut tentu menjadi tantangan baru yang mesti dicari solusinya. Bagaimana menanggulangi limbah fashion hingga di titik zero waste dan UMKM tetap berdaya.

Amilia Agustin: Mengolah Gundukan Sampah Menjadi Gundukan Kreativitas

Ketika membaca kisah mengenai Amalia Agustin penerima apresiasi SATU Indonesia Awards yang digagas oleh Astra, saya semakin bersemangat mencari solusi dan menjalankan penanggulangan limbah fashion. Bagaimana tidak, Amilia sungguh-sungguh menginspirasi dengan Gerakan “Go to Zero WasteSchool”. Anak muda satu itu dapat membuktikan bahwa generasi muda dapat bersumbangsih nyata dalam merawat lingkungan.

Gerakan Amilia berasal dari kegelisahannya melihat gundukan sampah di sekolahnya. Lalu, voila! Gundukan sampah itu berubah menjadi gundukan kreativitas. Berbagai ide di kepalanya tidak hanya berakhir menjadi wacana, tetapi gerakan nyata. Dia kemudian membuat komunitas sekolah untuk mengelola sampah. Amilia kemudian mengajukan proposal program Karya Ilmiah Remaja bertajuk “Go to Zero Waste School” kepada Ashoka Indonesia di Program Young Changemakers. Pengajuan proposalnya disetujui sehingga dia mendapat bantuan operasional senilai Rp2,5 juta. Modal yang benar-benar dimanfaatkan Amilia dan teman-temannya untuk menjalankan program pengelolaan sampah yang terbagi ke dalam empat bidang, yaitu pengelolaan sampah anorganik, sampah organik, sampah tetrapak, dan sampah kertas.

Agar berdampak lebih luas dalam menanggulangi sampah dan dapat menggerakan roda perekonomian, Amilia menggandeng Yayasan Kontak Indonesia dan membina empat sekolah negeri, juga mempekerjakan ibu-ibu di lingkungan sekitarnya. Hasilnya, gundukan sampah itu berubah menjadi produk-produk yang dapat digunakan lagi, seperti tas, pot bunga, mainan anak, pupuk, dan lain sebagainya. Olahan sampah itu kemudian dijual lagi untuk menghidupi program dan masyarakat.

Mengolah Limbah Fashion

Kegelisahan saya mengenai limbah fashion juga ter-triger oleh satu video yang saya tonton di media sosial. Video itu memperlihatkan edukasi seorang dosen fashion yang menceritakan kekelaman industri fast fashion. Salah satunya bahwa fashion cepat mempekerjakan banyak buruh dengan membayar murah mereka. Kemudian, pemakaian bahan yang banyak dari plastic sehingga baju-baju tidak dapat didaur ulang secara alami oleh Bumi. Selama satu tahun, beliau terus mengedukasi masyarakat untuk menjalankan fashion berkelanjutan.

Mengikuti jejak Amilia, saya pun kemudian menyampaikan ide saya untuk mengelola limbah fashion kepada teman-teman tim studio yang saya kelola. Kami lalu merancang rencana usaha dengan konsep fashion berkelanjutan. Dua hal yang melegakan saya, konsep itu selain dapat menanggulangi limbah fashion—minimal di sekitar lingkungan kami—juga membuat saya tak takut mendapat pesaing usaha. Mengapa? Karena semakin banyak yang menjalankan justru makin baik dan berdampak bagi lingkungan. Kedua, program ini memakai bahan dari pakaian produksi lokal maupun luar negeri, sehingga harapannya dapat menjembatani kekisruhan antara pedagang thrifting yang mengambil ball dari luar dengan pengusaha produksi baju lokal.

Kami berencana mengolah baju-baju tak layak jual dan sampah kain dengan menyulapnya menjadi berbagai produk baru. Misalnya keset, bantal, baju baru, hiasan, dan lain-lain. Limbah-limbah itu dimanfaatkan hingga tidak menyisakan sampah sama sekali. Pembuatannya tentu perlu bantuan dari banyak pihak.

Sesungguhnya, ada beberapa hal ini yang dapat dilakukan masyarakat untuk mengurangi limbah fashion, yaitu:

  • Menggunakan produk fashion daur ulang
  • Jika dibutuhkan untuk menggunakan produk merek ternama, masyarakat dapat merentalnya saja ketimbang membelinya.
  • Menggunakan bahan alami untuk produksi fashion

Semoga dengan lebih banyak masyarakat yang terketuk untuk mengurangi sampah, kita dapat bersama-sama menjaga Bumi ini.

Leave a comment