[Cerpen] Bapak Berbulu Luwak

[Cerpen] Bapak Berbulu Luwak

Bapak Berbulu Luwak

Oleh Eva Sri Rahayu

Saat kopi luwak buatan Bapak masih beraroma hutan liar bercampur kuaran bau tanah tersiram hujan, aku suka sekali menyesap uapnya. Dari kopinya kudengar alunan angin menggoyangkan pohon-pohon kopi. Namun hanya sekali saja aku mencicipinya, terlalu pahit di lidah bocahku yang baru tujuh tahun. Apalagi rasanya bertahan berjam-jam di kerongkongan. Bahkan rasa obat warung yang diberi Ibu ketika kepalaku pusing lebih enak ditelan. Aku baru memahami nikmat kopi luwak setahun sebelum lulus SD. Kafein di dalamnya membuatku tak kuyu meskipun berjam-jam membaca bertumpuk-tumpuk buku. Kopi pun akhirnya kupakai sebagai penawar sakit kepala menggantikan obat warung. Kini kopi luwak bikinan Bapak beraroma apak dan tengik, kopinya bukan hanya bau, tapi selalu memekik lirih dengan suara musang luwak yang sekarat.

Aroma kopi Bapak berubah perlahan-lahan sejak bertemu kawannya dari Jakarta. Dengan dandanan perlente dia mengiming-imingi Bapak bergabung dengan usaha coffeshop-nya yang menyajikan kopi luwak eksklusif.

“Ugeng, tambahlah kau punya luwak, jumlah segitu manalah cukup menghasilkan banyak kopi. Seluruh dunia lagi rakus kopi luwak. Mana bisa cukup kopi-kopimu memberi minum mereka semua,” ucap kawan bapak ketika aku menyuguhkan kopi ke meja.

Sekilas ketika aku melewati Bapak untuk kembali ke dapur, kulihat kepalanya mengangguk-angguk dengan bibir mengepulkan asap rokok.

Minggu itu luwak di perkebunan kopi kami bertambah puluhan ekor, entah dari mana Bapak mendapatkannya. Setelah itu Bapak membuat kandang-kandang baru dari kayu. Tiap kali Bapak memasukkan luwak-luwak yang telah dianggapnya anak-anak sendiri ke dalam kandang, kulihat beliau meminta maaf tulus pada mereka. Meski hanya mendapat jawaban tak jelas dari mata bening cokelat mencuat si luwak. Semusim itu, Bapak begitu telaten mengurus luwak. Bapak tampak begitu keras membungkam rasa bersalah di dadanya akibat mencerabut kemerdekaan hidup mereka. Setiap hari, Bapak memberikan pisang dan pepaya yang telah dikupas untuk mereka makan. Seminggu sekali, diberinya juga mereka burung-burung kecil untuk disantap. Hanya seminggu dua kali saja Bapak memberi buah-buah kopi untuk dimakan luwak. Itu pun buah-buah kopi ceri yang matang dan berwarna merah segar dari perkebunan kopi Bapak seluas tiga hektar. Saat itu, aku masih senang menemani Bapak dan lima pegawainya memanen kopi.

Kemudian, hari titik balik perubahan tabiat Bapak datang. Ketika itu aku tengah membantu Ibu menyangrai kopi-kopi yang telah bersih dari kotoran luwak dan dijemur berhari-hari di bawah terik matahari. Biji-biji kopi hampir berubah warna menjadi hitam pekat saat Bapak masuk ke dapur untuk memintaku menyeduh dua gelas kopi. Kawan Bapak rupanya sudah bertandang lagi.

Gelas kopi yang kupindahkan dari atas nampan hampir saja jatuh saat mataku terpaku pada tumpukan uang di meja. Kutaksir jumlah uang itu lebih banyak dari yang pernah kami miliki. Kulirik Bapak untuk melihat reaksinya. Bola mata Bapak berbinar cerah, mukanya kemerahan dimabuk kebahagiaan.

“Ini tak seberapa, Geng. Kau bisa dapat berlipat-lipat lagi kalau hasil kopimu berlimpah. Ada teman yang siap mengekspor kopimu ke luar negeri.”

“Tapi… bagaimana caranya, Zam?”

“Kudengar dari pegawaimu, luwak-luwak itu hanya kau beri buah kopi seminggu dua kali. Beri mereka kopi tiap hari. Kalau perlu, tak usah kau kasih makan apa-apa lagi,” jelas si Kawan dengan mata licik.

Musim panen berikutnya Bapak seperti kesetanan. Belasan luwak yang dikirim lagi ke rumah dijejal-jejalkan Bapak dalam beberapa kandang saja. Pepaya, pisang, dan burung-burung kecil berangsur-angsur dikurangi jumlahnya, hingga menghilang sama sekali dari gudang, menyisakan buah-buah kopi ceri beraneka warna. Padahal buah kopi ceri hijau belumlah lagi matang. Tangan-tangan Bapak telah terampil berkhianat pada kata hati saat memberikan buah-buah kopi ceri mentah itu pada luwak. Binatang-binatang itu hanya dipaksa makan buah-buah kopi. Tak peduli usus-usus mereka luka. Otak Bapak telah dipenuhi tahi-tahi luwak. Musim demi musim panen terus memudarkan jiwa Bapak. Mata Bapak tak lagi menyorotkan kasih sayang sebagai seorang ayah, kopi dan luwak buat Bapak sekarang hanya mesin pencetak uang. Bapak tak peduli kualitas kopi lagi, yang beliau butuhkan hanya kuantitas saja. Makin banyak, makin uang mengalir ke kantongnya. Bapak seperti ular berubah kulit.

Bukan hanya Bapak satu-satunya yang berubah. Aku pun telah berubah.

Aku tak lagi mau memanen buah-buah kopi. Tak sanggup memperdayai nurani. Dan karena tak kutemukan lagi Bapak yang dulu berkisah, “Kopi luwak muncul dari kesengsaraan para petani yang begitu menginginkan minum kopi hingga mengolah biji-biji di tahi luwak. Kita beruntung bisa meneguknya tiap hari. Ingat, Wan, nikmatnya kopi luwak itu karena luwak pintar memilih buah-buah kopi terbaik. Kemudian ada proses di dalam usus luwak yang menjadikan rasanya unik. Karena itu kita mesti berterima kasih pada luwak-luwak itu, memperlakukan mereka seperti keluarga.”

Aku pun tak lagi mengurus luwak-luwak. Tak mampu menatap tubuh-tubuh ringkih yang jumlah bulu rontoknya bertambah dari hari ke hari.

Dan… aku juga berhenti minum kopi luwak karena rasanya seperti menelan darah luwak.

“Pak, itu si Tua sakit. Mau diapakan, Pak? Kita panggil dokter hewan?” lapor salah satu pegawai Bapak. Tua adalah nama luwak pertama yang Bapak miliki. Usianya telah serenta namanya. Tua beruntung masih diberi nama, karena luwak-luwak Bapak yang lain tidak lagi bernama, mereka hanya bernomor, seperti uang.

“Jangan, Jen. Jual saja itu ke tetangga. Kemarin Bu Nursimah perlu untuk mengobati anaknya yang sakit asma,” perintah Bapak.

Seandainya saja memang tujuan Bapak mulia untuk membantu kesembuhan anak Bu Nursimah, tentu aku tak akan segusar ini. Tapi aku tahu betul, Bapak hanya tak mau rugi. “Pak, jangan, Pak. Kita obati saja dulu,” sergahku.

“Halah, repot!” gerutu Bapak sambil mengibaskan tangan, memberi tanda pada Jejen untuk segera melaksanakan perintahnya.

Aku berjalan cepat mengekori Jejen. “Jen, si Tua jangan diapa-apain,” kataku setegas mungkin. Jejen hanya menghela napas sembari mengangkat bahu.

Kakiku baru saja akan melangkah ketika suara Bapak menggelegar memecah siang. “Bapak tidak suka dibantah! Berani-beraninya kamu melarang Jejen melanggar perintah Bapak!”

“I… itu… bukan begitu, Pak. Ridwan hanya kasihan sama luwaknya,” ucapku terbata-bata.

Bapak bahkan tak mendengar kata-kataku, beliau mengambil arit, kemudian melesat ke kandang luwak. Dikeluarkannya si Tua, lalu tangan kekar itu terpeciki darah Tua yang meregang nyawa. Tatapan mata Bapak dan Tua terekam dalam di kepalaku. Pendarnya terlalu kontras. Bapak bukan lagi seperti manusia.

Perlahan-lahan penglihatanku menampakkan sesuatu yang merindingkan bulu roma. Di sekujur tubuh Bapak tumbuh bulu-bulu. Mula-mula munculnya di tangan yang terciprati darah si Tua. Hidungnya memanjang menjadi mencong. Bibirnya mengerucut kecil. Jika musang bisa berbulu domba, bapakku berbulu luwak. Kuusap-usap mata dengan jari jemari, tapi pemandangan itu tak berubah sama sekali. Bapak melihat perubahan di ekspresi wajahku, aku tahu dari pertanyaannya yang terdengar seperti cicitan. Gegas aku berlari mengunci diri di kamar, meninggalkan Luwak Bapak yang kebingungan.

Malam itu jangkrik yang berbunyi nyaring berhasil membangunkanku. Setengah pusing aku bangun dari tempat tidur. Perlahan ingatan tentang Bapak yang berubah menjadi luwak memenuhi kepalaku. Pasti sekadar mimpi. Tidak mungkin manusia berubah menjadi luwak seperti dalam cerita-cerita horor. Namun betapa terkejutnya aku saat membuka pintu kamar. Bapak masih setia dengan tubuh luwaknya. Berdiri dengan dua kaki di depan cermin besar yang menempel pada pintu lemari hias. Matanya terus menekuri cermin dengan bulu-bulu tegak. Bapak telah sepenuhnya bermetamorfosis. Panjangnya kutaksir kurang dari seratus senti. Bulunya berwana abu-abu kecokelatan. Jalur di punggungnya berupa lima garis gelap yang terbentuk oleh bintik-bintik besar. Dahinya berwarna keputih-putihan persis uban rambutnya ketika masih berwujud manusia.

Aku bergidik. Tak lama kupaksakan diri mencari Ibu dan semua pegawai Bapak. Tidak kutemukan satu pun manusia di rumah ini. Saat kupanggil Ibu, bukannya sahutan, yang terdengar hanya gaung suaraku melebur dengan cicitan gelisah luwak-luwak dari kandang-kandang mereka. Binatang-binatang nokturnal itu telah aktif. Bapak ikut mencicit padaku.

“Bapak?” tanyaku pada luwak di depan cermin. Memastikan bahwa ini bukan halusinasi.

Luwak itu mencicit sambil mengangguk.

Mendadak aku tahu apa yang mesti kuperbuat. Aku menghampiri Luwak Bapak, kugendong tubuh ringannya. Kubawa Luwak Bapak menuju ke kandang. Awalnya Luwak Bapak tenang-tenang saja di dekapanku, tapi saat menyadari aku akan memasukkannya ke kandang, Luwak Bapak melawan. Perlu mengerahkan segenap tenaga supaya Luwak Bapak bisa kujejalkan bersama belasan ekor lain di kandang paling gelap dan sempit.

“Lihat baik-baik dari sana, Pak,” kataku dengan sorot mata tajam.

Aku membuka satu per satu kandang luwak, mengeluarkan seluruh isinya. Mereka berlarian bebas, sebagian terpincang-picang. Luwak Bapak mencicit keras, mungkin beliau sedang menjerit frustrasi. Setelah semua kandang kosong hingga menyisakan satu kandang tempat Luwak Bapak berada, aku mendekatinya. Kubuka pintu kandang itu setengah hingga luwak-luwak bisa keluar, hanya Luwak Bapak saja yang kutahan meski tanganku terluka oleh cakaran kuku-kukunya.

“Tenanglah, Pak. Aku akan memperlakukan Bapak dengan baik,” tutupku sebelum meninggalkannya pada malam.

Paginya kutemukan Luwak Bapak tengah kelaparan. Maka aku memetik buah-buah kopi ceri hijau untuk sarapannya. Pada mulanya Luwak Bapak tampak tak selera melihat buah-buah kopi ceri muda itu. Tapi rasa lapar telah mendorongnya memakan yang ada. Begitu juga dengan sorenya. Berulang hingga keesokan harinya.

Ada yang berbeda hari ini. Luwak Bapak telah mengeluarkan kotorannya. Kusendok untuk kuperlihatkan pada Luwak Bapak. “Lihat, Pak. Ini tai kopi pertama Bapak. Bapak pasti bangga kan?” tanyaku. Luwak Bapak hanya mondar-mandir gusar.

Tubuh Luwak Bapak dari hari ke hari kian ringkih. Luwak Bapak makin sering mogok makan buah-buah kopi. “Makanlah, Pak. Jangan keras kepala begitu,” ucapku saat menemukan buah-buah kopi masih tak tersentuh. Luwak Bapak mengangkat kepalanya sedikit untuk melihatku. Matanya tak jernih. Sepertinya sakit. Setelah kutunggui berjam-jam, pada akhirnya Luwak Bapak makan juga karena tak kuat melawan lapar.

Aku telah mengumpulkan tahi-tahi Luwak Bapak selama seminggu. Kotoran-kotoran itu kujemur hingga kering, lalu kutumbuk agar biji-bijinya terpisah, kemudian kutampi hingga hanya menyisakan biji-biji kopi. Kucuci hingga bersih, dan menyangrainya bersama pasir sampai hitam sempurna. Setelah melewati beberapa proses lagi, kuseduh kopi Luwak pertamaku setelah bertahun-tahun berhenti mencecap rasanya.

Napas Luwak Bapak tampak satu-satu ketika aku mendekati kandangnya.

“Pak, ini kopi dari tubuhmu. Akan kuminum setelah mendinginkannya sebentar. Aku selalu ingat kata-kata Bapak. Rasa kopi terus berubah seiring suhunya merambat dingin.”

Aku menyesap kopi kental perlahan, merasakan cairan hitam membasahi kerongkongan. Menikmati aroma belantara yang melekat pada kopi. Rasanya tak pahit. Kopi paling nikmat seumur hidupku, yang keluar bersama feses Bapak yang memerah oleh darah.

***

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

MyCupOfStory-Poster-759x500

25 thoughts on “[Cerpen] Bapak Berbulu Luwak

  1. Semacam legenda ya ngebacanya, trus ngebayangin. Luwak Bapak akan berubah lenjadi manusia kembali, kalau ada sang putri yang menciumnya. Halah halaaah :)))

    Nice mba Eva, goodluck ya.^^

  2. Tulisannya bagus kak, penuh imajinasi..
    gegara terbawa nafsu akan tumpukan uang, bapak rela menyiksa luwak-luwak demi keserakahannya.
    Dan epiknya, semesta tak tinggal diam, lewat darah Tua yang digoroknya, perlahan sang bapak kena karma menjadi luwak :l

    Imajinasinya kak eva, luar biasa :))

  3. Deuh… aku jatuh cinta sama penulisnya deh.
    Walaupun endingnya mengerikan gituuu….
    super duper ini mah
    (Y)
    __________________
    I’m only one call away
    i’ll be there to save the day
    Superman got nothing on me
    I’m only one call away
    __________________

  4. Salam hangat buat perut kenyang dari fases Bapak pun Luwak Bapak, Mbak. Baru ikut, dan siap menikmati. Kerongkongan siap nelan fases, bersemangatlah, Mbak! Kenyangkan. hehe.

Leave a reply to Natalia Cancel reply